Selasa, Mac 25, 2008

"Beramalah Dengan Menulis, Sebelum Amalan Ditulis."-Helvy Tiana Rosa



Sabtu, jam 1.30 petang saya tidak berlengah menunaikan solat Zohor, sambil bersiap-siap saya sempat sms Hudy, bertanyakan lokasi Auditorium yang dimaksudkan. Saya selalu ke IPS saat mendaftar tetapi bukan untuk berprogram seperti saat ini. Kata Hudy, "Lantai satu, gak perlu naik lif bu Fai." Saya melewati Asia Europe Institute, berharap pagar keluar IPS dibuka. Nampaknya tidak. Saya melejet lagi. Melalui pintu gerbang IPS saya melihat tampang siswi Indonesia (mengenal cara pakaian mereka). Lalu saya membuntuti siswi itu. Dari jauh saya sudah nampak Hudy dan Samheri yang menjadi panitia acara sore ini. "Ahlan wa sahlan." Ramah Hudy mengalukan. "Ahlan Bik." Saya berbasi-basi. "Enti munfaridah?" Giliran Samheri menyoal. "Na'am." Mata saya tersenyum. "Mana temanmu yang lain?"Hudy mungkin berkira-kira saya membawa teman-teman yang tinggal di kolej. "Ngak, mereka lagi punya acara kolej." Saya cuba-cuba menjawab dalam laras bahasa seberang. "Bayaran dikenakan?" Saya mengisi borang pendaftaran sambil diperhatikan oleh beberapa orang siswa Indonesia. "Ngak, percuma." Jawab Hudy dan Samheri hampir serentak. "Oh, gratis?" Saya sekadar kecindan. "Ibu Helvy udah sampai?" Saya ghairah ingin bersua secara 'mubasyarah', sebelum ini saya hanya bertandang ke pojok Pena Kecil Helvy Tiana Rosa. "Ya, udah lama sampai. Tapi acaranya masih belum mula." Samheri masih sudi meladeni saya walaupun dia kelihatan ripuh. "Jemput ke dalam bu Faizah, teman saya dari PMIUM juga hadir sama, tapi lelaki." Hudy meredakan samudera gementar saya. Saya berkira-kira saya satu-satunya muslimah Malaysia yang hadir, rupa-rupanya Ummu Hani juga datang dan mengambil tempat agak belakang. Saya mengambil tempat di barisan belakang Mbak Helvy Tiana Rosa, Wah, dari tempat duduk saya, bisa ambil gambar pengarang besar Indonesia secara 'candid'. Seronoknya.

Petang itu, Mbak Helvy digandingkan bersama Saudara Alwi al-Attas. Saya sangat teruja dengan prolog ucapan pengarang itu yang lebih kurang berbunyi begini:

"Dulu ada seorang anak kecil serta adiknya, tinggalnya di tepi rel keratapi, di gubuk/gobok yang 5S, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat sederhana. Sehingga apabila keretapi lewat di situ ada jemuran yang hilang kerana penumpang keretapi akan mengambil jemuran itu. Dua anak kecil itu selalu ingin bisa membantu orang tuanya. Nah, setiap kali ayah dan ibunya keluar untuk bekerja, ibunya selalu bertanya, “Nak, mahu ibu bawakan apa?” Maka sang anak berkata kepada ibunya, “Ibu, bawakan kami buku.” Lalu ibu menjawab, “Ibu akan berjuang untuk bawakan kalian satu hari satu buku walaupun mungkin ibu tidak mampu untuk membelinya.”

Ketika menawarkan barang jualannya kepada seseorang ibu sempat bertanya, “Boleh tidak kami meminjam buku anakmu? Kami berjanji akan rawat dan membalut buku itu.” Maka kemudian si ibu selalu pulang dengan membawa buku setiap hari. “Buku ibu, kami mahu buku.” Begitu kata anak-anaknya. Setiap sore anak-anak itu akan ke belakang rumah, di situ ada tempat penyewaan buku tetapi mereka tidak pernah mampu menyewa untuk satu buku, mereka hanya memandang dan melihat-lihat. ‘Satu ketika aku akan membaca buku itu, satu ketika kita akan menuliskannya!’ Tiba-tiba gadis kecil itu mendegar bahawa pengarang besar berkumpul di Taman Ismail Marzuki. Maka gadis itu pergi berjalan kaki dari Gunung Sari menuju Taman Ismail Marzuki baru di buka. Di sana dia hanya ingin melihat Taufik Ismail dan para sasterawan, maka di bacakan puisi-puisi karya yang aneh itu. Dan para sasterawan itu tanpa menoleh sedikit pun memberinya wang sepuluh rupiah, lima belas rupiah. Gadis kecil berkata dalam hatinya ‘Satu ketika saya akan jadi penulis dan satu ketika saya akan duduk bersama anda di sini.’ Perlu waktu dua puluh tahun setelah itu bagi gadis kecil untuk kembali ke Taman Ismail Marzuki dan duduk di tempat Taufik Ismail sebagai Sekretaris DPH-Dewan Kesenian Jakarta, gadis kecil itu saya.”

Saya menitiskan air mata…muqaddimah yang sangat menyentuh.

“Sampai sekarang saya berfikir tulisan yang kita buat merupakan rakam jejak. Jika jelek, seumur hidup anak cucu saya akan melihat rakam jejak saya yang jelek. Saya pernah menjadi panelis bergandingan pengarang Ayu Utami, dia pernah mengatakan, “Kalau saya menulis gak ada tujuan, buat saya menulis, menulis aja. Kalau yang ada tujuan macam-macam itu kayaknya Helvy.”

Saya menjawab…”Bagi saya gak mungkin menulis tanpa ada tujuan, kerna bagi saya you are what you write, anda adalah apa yang anda tulis. Ayu Utami pernah bilang…’Oh itu tulisan saya, saya tidak pernah seperti itu.’

Justeru saya senang bersama Habib, katanya “Mbak, jika saya digandingkan bersama penulis kontemporer saya langsung bilang konsep sastera saya berbeda dengan anda, saya pakai balaghah. Anda pakai apa terserah anda. Udah, padan bingkam, diam sudah semua.” Jadi sebelum dia diusik dengan teori sastera kontemporer dia sudah bilang begitu. Karya Habib, sekalipun digelar sastera popular tapi settingnya bagus dan sangat ditil.

Jadi bagi saya ada satu teori dalam sastera ketika dikatakan seorang pengarang selesai menulis karyanya maka karya itu hidup dan pengarang itu mati, tapi saya katakan bagi saya, ketika seorang pengarang menulis dan melahirkan karya maka bertambahlah nyawanya, ertinya apa? Kita harus bertanggungjawab bukan hanya di dunia tapi juga nanti di akhirat kerna itu saya bilang rakam jejak ini bukannya rakam jejak di dunia sampai ke akhirat.

Ramai orang menganggap sastera serius itu hebat, makin tidak mengerti makin hebat. Itu aneh, bagaimana kita boleh berkomunikasi? Paling tidak kalaupun kita bermain simbol adalah lapis makna-lapis makna yang bisa disebak. Kalau anda penulis sastera anda akan bermain dengan simbol dan akan ada lapis makna begitu. Kalau kata Hamid Jabbar ada tiga lapis makna, yang pertama makna yang tersurat, yang kedua ialah yang tersirat dan yang ketiga ialah makna yang tersorok yang ini hanya cendekia bisa memahaminya.”

Mbak Helvy juga sempat menyatakan unsur bias dan layanan double standard yang diterima oleh ahli Forum Lingkar Pena (FLP). Pernah seorang karyawan ternama diminta mengulas novel Ayat-Ayat Cinta jawabnya “Oh, karya anak-anak FLP, saya gak mau.” Di sana langsung ada frame FLP-Islam. Seburuk-buruk karya anak-anak FLP, beliau berani jamin tidak ada satu karya pun yang akan membuat masyarakat menjadi semakin buruk.

Sepetang bersama mbak Helvy adalah kenangan yang indah dan momentum yang bermakna demi memugar konsisten saya dalam dunia kepengarangan...



6 ulasan:

Nisah Haji Haron berkata...

"Kitalah apa yang kita tulis" - kata-kata itu memang saya pegang hingga sekarang. Tak ingat dapat dari mana, tapi sungguh-sungguh percaya bahawa menulis itu haruslah dari hati.

Jadi, kalau kita menulis hal-hal yang negatif, sekalipun kita bukan begitu, tetapi kita sudah mengabsahkan hal-hal negatif dalam karya kita.

Faizah, teruslah menulis. Saya rindukan karya-karyamu!

alQasam berkata...

Salam angah!

Oh sampai hati tidak ketahuan padaku berita ini. Sungguh! Saya jauh hati...:)

Sumayyah

Faizah Azaman berkata...

kanda nisah,

saya nak mulakan menulis secepatnya!InsyaAllah

Faizah Azaman berkata...

maaf la al-qasam

bukan tanak kasi tau, number phone semua orang lesap lepas hp reformat. sorry la dik...

alQasam berkata...

Oh Kekanda Angah Habibti..

Mafisy Musykilah..Mesyi..Sekadar canda di siang hari...:)

Salam sayang.

Faizah Azaman berkata...

dinda al-Qasam,

canda aja gak apa2. jgn disimpan rasa kanda tidak menyampai berita. ada rezeki nanti kita bersua kang abik pula ya...